Ayahku, ayah juara satu seluruh dunia
Bandara– Rumah Sakit
Di Bandara Kuala Namo yang megah itu kali pertama aku melihatmu duduk di
atas kursi roda. Badanmu masih gagah. Tak terlihat seperti orang sakit. Bahkan
kau bersikeras ingin jalan kaki saja karena petugas kursi roda terlambat
datang. Lupa kalau kondisi kakimu tak lagi sesehat dulu. Bandara Kuala Namo itu
sangat luas, tak seperti Polonia, bandara lama kota Medan.
Ingatanku terbang. Teringat bagaimana ayah menyetir mobil sendiri saat ingin
kontrol ke rumah sakit. Sesekali ditemani bunda. Dan aku membiarkannya. Aku tak
pernah tahu jadwal kontrolnya. Bahkan saat diminta menemani Medical Check-up
ke Penang pun, aku masih ogah-ogahan. Padahal tiket dan segala akomodasi
ditanggung. Ah, anak macam apa aku ini ya?
Air mata yang menetes di pipi membawa ingatanku kembali ke Penang.
Berhari-hari kita mengunjungi Island Hospital, rumah sakit terbaik ketiga di
Penang, tanpa hasil. Ternyata untuk bertemu dr.Oh Kim Soon, dokter spesialis
bedah tulang terkemuka itu harus membuat janji terlebih dahulu. Ia membatasi maksimal
20 pasien yang dapat berkonsultasi dengannya setiap hari. Sialnya puluhan orang
sudah masuk Waiting List.
* * * * *
Kursi Roda
Kudorong kursi roda yang ayah naiki dengan hati-hati. Berat badan ayah yang overweight
membuatnya gamang, khawatir rodanya tak mampu berfungsi dengan baik. Sudah
belasan tahun aku tak pernah memegang kursi roda. Dulu, kursi roda pernah
menjadi teman mainku. Hampir setiap sore aku mendorong nenek yang memiki
keluhan kaki persis seperti ayah.
Entah apa sebabnya, tiba-tiba ayah ingin mendorong kursi rodanya sendiri.
Pelan-pelan tangannya memutar pegangan roda. Kemudian mulai menikmatinya.
Seperti anak kecil yang baru belajar mengendarai sepeda, kursi rodanya meluncur
ke setiap sudut rumah sakit. Awalnya, aku selalu mengikuti. Tak lupa menawarkan
bantuan yang selalu ditolak mentah-mentah. Bunda menasihatiku untuk membiarkan
ayah menikmati “mainan” barunya.
Aku mengamati dari jauh. Kulihat ayah mengambil beberapa brosur kesehatan
dan membacanya, tanpa sadar kalau posisi kursi roda di parkir sembarangan. Aku
hampiri, dan pindahkan kursi roda agar tak menghalangi jalan. Kemudian ayah
bergegas mendekati dispenser yang setiap pagi menyediakan minuman panas bagi
pengunjung rumah sakit. Melihat tangannya kesulitan mengambil gelas, aku datang
memberikan segelas kopi untuknya. Setelah habis minumannya, kubuang gelas
sekali pakai itu ke tempat sampah yang terpajang rapi di setiap sudut rumah
sakit.
Tragedi Kecil
Tiba-tiba ada pasien gawat darurat yang baru datang. Aku memindahkan kursi
roda ayah yang menghalangi jalan. Tanpa berkata apa-apa. Ayah hanya menatapku
bingung tanpa mengerti duduk persoalannya. Kemudian ayah meluncur lagi ke meja
resepsionis, menanyakan temannya yang kabarnya dirawat di rumah sakit ini .
Beberapa petugas berteriak. Perasaanku tak enak. Ini pasti ada hubungannya
dengan ayah.
Ternyata benar. Lantai rumah sakit dipenuhi ceceran cairan pekat
(kemungkinan muntah pasien) yang belum dibersihkan. Dan ayah hampir
melindasnya. Aku buru-buru lari dan membelokkan kursi roda. Bahkan ayah tak
sadar kalau ia sudah membuat kehebohan kecil. Aku menghela nafas. Lega. Dan
membayangkan kalau aku terlambat satu detik saja, kursi roda yang ayah naiki
sudah mengotori lantai rumah sakit.
Tak lupa aku meminta maaf pada petugas
rumah sakit. Mereka tersenyum dan mungkin heran mengapa ada anak yang
membiarkan ayahnya naik kursi roda sendirian. Perasaanku campur aduk. Hati
kecil ini ingin bilang, ‘ayah, ini rumah sakit, bukan jalanan tempat berlatih
dan memainkan kursi roda’. Semua itu hanya kukatakan dalam hati, takut
menyinggung perasaannya yang semakin sensitif pasca pensiun dan mengalami
post power syndrome.
Capek mondar mandir tanpa diberi kesempatan mendorong, akhirnya kuputuskan
untuk duduk manis di sebelah bunda yang sedang menunggu antrian periksa darah.
Kuletakkan tangan bunda di pipi, berharap hasil lab nantinya menunjukkan kadar
gula darahnya normal. Dari kejauhan kulihat kursi roda ayah didorong oleh
perawat. Aku terbengong saat perawat itu tersenyum sambil berkata, “kenapa tak
mau tolak ayah?”, dengan logat Melayunya yang kental. Aku menunduk saja.
Berusaha memecahkan suasana yang sempat kaku, bunda bercanda, “Didorong anak
sendiri ga mau, eh sama perawat cantik mau”. Ayah menjawab lirih, “Nanti aini
kecapekan”. Jawaban ayah membuat matakuberkaca-kaca. Aku pikir ini semua
tentangnya. Ternyata aku salah. Ini semua tentangku. Saat sakit pun, ia lebih
mengkhawatirkan putri bungsunya.
* * * **
Metamorfosis
Sepulang pengobatan dari Penang, aku mulai merubah sikap cuekku pada ayah.
Belajar mengekspresikan kasih sayang dan rasa takut kehilangan. Mencoba untuk
lebih hangat dan menghabiskan banyak waktu untuk ngobrol berdua
dengannya. Dan, untuk pertama kalinya dalam hidup, aku merasa berat
meninggalkan rumah walau hanya sehari.
Aku takut kondisi kesehatan ayah
menurun. Khawatir, tak lagi sempat meminta maaf dan mencium keningnya untuk
terakhir kali. Atas nama profesionalitas aku harus melakukannya. Kontrak kerja Outbound
Training yang terlanjur kutandatangani sebelum kesehatan ayah menurun
mengharuskan aku meninggalkannya sendirian di rumah. Bunda menghadiri undangan
pernikahan ustadz pesantren dimana ayah menjadi Ketua Badan Wakaf. Sebentar
saja, lokasi mesjid dan gedung acara diselenggarakan juga hanya beberapa meter
dari rumah. Kakakku menikmati weekend di rumahnya, setelah menghabiskan 5
hari penuh di kantor. Sementara abangku dan keluarga kecilnya menginap di rumah
mertuanya sejak kemarin.
Setelah memastikan perlengkapan outbound masuk semua dalam ransel
Eiger biru kesayangan, aku menyiapkan keperluan ayah agar ia tak perlu beranjak
dari tempat tidur. Tupperware hijau berisi 2 liter air putih hangat,
sebotol infused ‘lemon’ water, satu piring berisi buah pear dan
pepaya, serta satu sisir pisang tertata rapi di meja samping tempat tidur.
Kursi roda untuk berjaga-jaga kalau ayah ingin ke kamar kecil. ak lupa novel
Rantau 1 Muara, trilogi terakhir A.Fuadi dan buku Mukjizat Gerakan Shalat
kuletak persis disamping ayah agar ia tak bosan.
Sepanjang perjalanan menuju
Sayeum Sabah, lokasi outbound berlangsung, wajah ayah tak bisa lepas dari ingatan. Berat rasanya
meninggalkan ayah sendiri dan merasa kesepian. Khawatir sesuatu terjadi
dengannya dan aku tak bisa dihubungi karna tak ada sinyal. Jangan tuduh aku
melakukan semua ini karena materi. Aku memang butuh uang, tapi jumlah nominal
yang kudapatkan dua hari bekerja dalam tekanan itu tak sebanding dengan
pengorbanan yang dilakukan.
Disela-sela jam istirahat ketika pelatihan berlangsung, ponselku tak
berhenti menghubungi ayah. Sekadar menanyakan kabarnya, apa yang sedang ia
lakukan, bagaimana kondisi kesehatannya. Semua kulakukan agar ayah tak pernah
merasa diabaikan. Bahkan ia memintaku menggambarkan bagaimana kondisi terbaru
tempat pelatihan yang dulu rutin ayah kunjungi saatmasih aktif sebagai
Widyaiswara Badan Diklat Sumatera Utara. Nama ayah cukup dikenal di dunia Outbound
& Leadership Training di kota Medan.
* * * * *
Momen Berharga
Saat kesehatan kaki ayah membaik, ia kembali aktif dengan kegiatan
dakwahnya. Mengunjungi pengungsi Sinabung masuk dalam agenda berkala
kegiatannya. Kalau waktunya tak bentrok dengan kegiatanku, aku berusaha untuk
ikut. Ayah yang mengasah kepekaan sosialku sejak kecil. Aku ingin selalu
menemaninya, semaksimal mungkin. Mengikuti dan mendokumentasikan kegiatan di
penghujung usianya. Sesekali tak lupa meng-unggah foto-foto ke dalam akun facebooknya.
Setua ini, ayah tetap aktif menggunakan socialmedia.
Saat kecelakaan yang membuat pergelangan kakiku terluka dan kelingking kanan
terkilir, ayah orang yang paling khawatir. Ia selalu mengingatkanku untuk
berhati-hati. Dalam berkendara, ketika kita sudah mentaati peraturan yang ada,
keselamatan belum tentu terjamin karena ada banyak orang di sekitar kita yang
kurang hati-hati dan tidak sabaran.
Ayah yang memberikan perhatian paling banyak. Ia selalu menanyakan
kondisiku. Mengecek apakah aku sudah makan atau membutuhkan sesuatu.
Mengantarkanku kontrol kaki di Dukun Patah Pergendangen, tempat pijat khusus
bagi orang yang mengalami cedera. Mendorong kursi roda saat aku tak bisa berjalan
dari garasi mobil ke kamar. Membersihkan rambut-rambut yang menempel di roda
kursi agar ‘perjalanan’ menuju kamar mandi lebih nyaman.
Jadwal ganti perban tiba. Sebenarnya ayah bisa melakukannya. Kakekku
mewarisi ilmu untuk menangani orang yang kecelakaandan patah tulang. Tapi ayah
lebih memilih mengantarkanku ke Serdang dan membiarkan Pinem, nenek yang
menangani kakiku sejak kecelakaan, yang melakukannya. Tak tahu apa sebabnya. Di
perjalanan ayah tiba-tiba menggigit bibirnya. Wajahnya seperti orang yang menahan
kesakitan. Aku tanya ayah kenapa tapi ia diam seribu bahasa. Aku takut.
Kuajak ia memutar balik ke rumah, mumpung mobil tua ayah belum terlalu jauh berjalan. Tapi ayah diam saja, tak menuruti saranku. Khawatir vertigonya kambuh, kuajak ia menepi dan minum air putih. Tapi ia tak mau. Aku semakin cemas. Apakah ayah lapar dan asam lambungnya naik. Sebelum berangkat tadi ayah sudah kutawari agar menikmati santap siangnya terlebih dahulu. Ayah menolak dengan dalih agar segera berangkat dan cepat sampai, jalanan kota macet saat jam istirahat siang begini. Menuruti saran dokter, pagi hari ayah hanya sarapan buah-buahan tanpa cemilan diantara jam makan. Hal ini terkadang membuat ayah cepat merasa lapar saat siang. Biasanya ayah makan siang tepat jam dua belas teng.
Kuajak ia memutar balik ke rumah, mumpung mobil tua ayah belum terlalu jauh berjalan. Tapi ayah diam saja, tak menuruti saranku. Khawatir vertigonya kambuh, kuajak ia menepi dan minum air putih. Tapi ia tak mau. Aku semakin cemas. Apakah ayah lapar dan asam lambungnya naik. Sebelum berangkat tadi ayah sudah kutawari agar menikmati santap siangnya terlebih dahulu. Ayah menolak dengan dalih agar segera berangkat dan cepat sampai, jalanan kota macet saat jam istirahat siang begini. Menuruti saran dokter, pagi hari ayah hanya sarapan buah-buahan tanpa cemilan diantara jam makan. Hal ini terkadang membuat ayah cepat merasa lapar saat siang. Biasanya ayah makan siang tepat jam dua belas teng.
Akhirnya tiba juga kesempatanku memberikan botol minuman pada ayah. Saat
lampu merah di traffic light kampus, ayah minum beberapa teguk air
putih. Melintasi drive thru makanan cepat saji, ayah membelokkan mobil
ke kiri. Membelikan makanan favorit keponakanku yang juga ikut. Kupesankan ayam
dan salad untuk ayah. Ia minta ditambahi kentang goreng. Kuturuti saja
permintaannya, padahal ia sedang diet carbo. Bergantian dengan keponakan,
kusulangi ayah beberapa potong kentang goreng. Sesekali ayam goreng dicocol
saus. Aku sangat menikmatinya. Seingatku, ayah tak pernah mau aku sulang.
Andai saat itu ada yang bisa diminta tolong mengabadikan momen berharga
ini.
* * * * *
Berharap ayah selalu disampingku…
Setiap kali mendengar surat Al-Fatihah yang ayah baca, air mataku menetes.
Bacaannya begitu sendu, seakan-akan itu lantunan terakhir yang keluar dari
mulutnya. Ah, mungkin aku yang berlebihan. Siapa yang tahu umur manusia.
Rezeki, jodoh, maut dan takdir adalah empat hal yang dirahasiakan-Nya dari
siapa pun. Jangan-jangan aku duluan yang dipanggil-Nya.
Jaga kesehatan ya ayah, dunia masih membutuhkan semangatmu. Keluarga
membutuhkan panutan seperti dirimu. Ayah, bersabarmenanti genggaman tangannya
hingga tanggal akad nikahku kelak. Namun jangan menjadikan itu sebagai ganjalan
untuk memenuhi panggilan-Nya. Aku ikhlas. Aku tegar. Aku kuat, kalau Dia lebih
dulu memanggilmu. Aku tak sanggup melihat penderitaan ayah memaksa lutut kaki
membopong berat badanmu. Kita harus berjuang bersama untuk menurunkan berat
badan. Apapun yang terbaik buat
ayah, aku dukung! Terima kasih telah menjadi ayah juara satu seluruh dunia. Doa tulus tak pernah berhenti kulukis di lagit untukmu.
* * * * *
No comments:
Post a Comment