Inspirasi datang menghampiri benakku, tak lama setelah kukembalikan
ke rak, buku ‘IPDN Undercover; Sebuah Kesaksian Bernurani’, autobiografi
Inu Kencana Safiie. “Aku ingin menulis biografi Ayahku”, bisik hati
kecilku. Kalaupun tak ada penerbit yang mau menerbitkannya karena ayahku
kurang terkenal dan tidak fenomenal seperti Inu Kencana, paling tidak
keturunannya kelak bisa mengenal sosok yang kukagumi itu melalui sebuah
tulisan, itu harapan yang lahir dari diriku, jika mereka kurang
beruntung dan tak sempat bertatap muka langsung. Sayang, ayahku kurang
rajin menulisdan bercerita. Bahkan aku, anak bungsunya pun tak terlalu
paham sejarah hidupnya. Jika saja ayah mau meluangkan sedikit waktunya,
aku yakin tahun depan tulisan mengenai pengalaman hidupnya sudah bisa
kalian baca.
Ayah yang kukenal selama lebih dari seperempat abad
hidupku adalah sosok yang tegar. Aku takkan menyalahkan orang yang
menilai tubuh gemuk, kulit sawo matang dan kaca mata setebal minus 8
yang selalu bertengger di hidungnya yang pesek dan lebar sebagai sosok
yang menyeramkan dan kurang ramah. Apalagi jika kalian mendengar
suaranya yang menggelegar. Namun ia memiliki kebaikan hati dan
kelapangan dada yang luar biasa. Aku bukan sedang membela pahlawan yang
selalu berjuang untuk ketiga anak dan isterinya ini. Begitulah adanya
ia, sederhana dan bijaksana, meskipun terkadang tak mau mendengarkan
‘nasihat’ dari anak-anaknya sendiri. Mungkin karena ia merasa asam garam
yang dimakannya jauh lebih banyak daripada kami yang masih menadahkan
tangan padanya setiap awal bulan, meskipun telah lulus kuliah.
Semangat,
minat baca dan belajarnya mewarisi tubuhku. Meski tak jarang aku malu
juga dibuatnya. Di usianya yang sudah senja ini, semangatnya masih
membara jika ingin mempelajari sesuatu. Jauh melebihi aku, anak
bungsunya yang usianya masih sangat muda. Ia tidak pernah malu untuk
bertanya, meski tak jarang kami tertawakan. Karena ingatannya yang sudah
mulai menurun, seringkali ia mengulang-ulang pertanyaan yang sudah
berkali-kali kami jelaskan, terutama jika berkaitan dengan tekhnologi.
Maafkan kami anak-anakmu ayah, kami tak pernah bermaksud merendahkanmu.
Begitu juga dengan keras kepala dan keberaniannya mengalir deras di
darahku. Bahkan kata sebagian orang, fisikku juga tak jauh berbeda
dengannya. Wajah bulat telur, jidat lebar dan rahang kerasnya menghiasi
wajahku. Like father like daughter. Aku tak kaget saat melihat skor need achievementku yang tinggi ketika mengerjakan laporan EPPS (Edward Personal Preference Schedule) sebagai tugas mata kuliah inventori, karena ini juga warisan yang kudapatkan dari ayah.
Ayah adalah seorang penyayang, setidaknya itulah gambaranku, anak bungsunya. Ia merelakan laptop seventh (bukan sekadar second,
karna aku tak yakin ayah adalah tangan kedua pemilik laptop itu)
Toshiba miliknya menyeberangi pulau karena komputer anak bungsunya
rusak. Ia mengabaikan kepentingannya di atas kepentinganku. Ia sangat
khawatir aku tak dapat mengerjakan tugas kuliah yang seabreg-abreg.
Bahkan ia sendiri yang mengantarkan laptop tua itu untukku. Ya, saat
itu ayah memang akan melakukan perjalanan dinas ke Jakarta, ratusan
kilometer dari Jogjakarta, tempat aku menuntut ilmu. Meskipun belakangan
aku tahu ayah membeli laptop baru, tapi aku tetap berbesar hati dengan
keikhlasannya.
Ayah juga sangat mempengaruhi kehidupan
sosialku. Belakangan aku banyak bergaul dengan relasi ayah. Sebut saja
om Hidayat, sahabat ayah sejak tiga puluh tahun lampau. Meskipun banyak
orang yang segan dengan pak haji yang satu ini, aku cukup dekat dengan beliau. Bahkan aku punya panggilan khusus untuknya, ‘om my dreams’, begitulah
aku menyebutnya. Ada lagi om Heru Maryanto, pensiunan dini PT Telkom,
yang sudah menganggapku seperti keponakannya sendiri. Meskipun jarang
bertemu dengannya, ia punya andil yang cukup besar bagi kehidupanku.
Jangan
kau kira hubunganku dengan ayah berjalan mulus seperti jalan tol yang
bebas hambatan. Waktuku mungkin lebih banyak kuhabiskan dengan adu
mulut, adu argumentasi, bertengkar dan ngambek hingga tak
berbicara sepatah katapun dengannya. Karakter kepribadian kami yang
keras membuat hal ini sering terjadi, terutama saat aku tinggal satu
rumah dengannya.
Aku tak begitu dekat dengan ayah saat aku
masih balita. Tak ada potongan memori saat aku berada digendongan ayah.
Entah karena kemampuan mengingatku kurang baik, atau karena ayah memang
lebih banyak menghabiskan waktunya di kantor, aku tak tahu. Pengalaman
paling dramatis yang ada di ingatan Aini kecil adalah saat ayah
melindungi ketiga anaknya dari preman mabuk di terminal bis Kabanjahe.
Saat itu kami berempat dalam perjalanan Tigabinanga – Medan. Malam itu
bunda harus menemani kakek di ujung usianya. Sementara kami harus pulang
ke Medan. Aku dan kedua saudaraku harus sekolah esok pagi. Sementara
ayah harus ngantor. Disitulah kami terjebak dengan tetesan
hujan. Aku berusaha keras menahan airmataku agar tak membanjiri pipi.
Aku tak ingin melihat ayah bertambah panik.
Pengalaman paling
pahit yang ingin aku lupakan dari masa kecilku adalah saat ayah marah
besar melihat kakak dan abangku bertengkar di ruang tengah. Ayah yang
saat itu sedang beristirahat karena sangat letih dengan tumpukan
pekerjaan di kantornya menjadi berang. Ia menghentikan perkelahian kecil
kakak dan abangku yang saat itu masih duduk di Sekolah Dasar dengan
kesalahan besar. Ia menyuruh mereka mengambil parang dari dapur (atau
bahkan memberikannya langsung, aku tak ingat). Kakak dan abangku memang
berhenti berkelahi saat itu. Tapi ayah lupa, ingatan itu terus membekas
di otak kami, hingga saat ini. Aku berbaik sangka, ayah pasti belum
belajar psikologi perkembangan anak saat itu. Karena kalau ia tahu
akibat dari perbuatannya, ayah tentu akan terbang ke masa lalu untuk
merubah itu semua.
Lebih dari lima tahun aku tinggal
terpisah dengan pria yang lahir di pertengahan Agustus, enam puluh tahun
silam. Keinginanku untuk melanjutkan kuliah di universitas tempat ayah
memperoleh gelar sarjananya, membuatku banyak belajar. Begitu juga
dengan dirinya. Kata orang, ayah banyak berubah. Kalau jenggot dan
rambutnya yang kian memutih, aku tak heran. Namun informasi yang
kudapatkan, kini ia menjadi lebih perhatian dan banyak bicara dengan
orang lain, terutama keluarga besar. Dulu ayah lebih suka menghabiskan
waktunya di rumah dengan membaca buku–buku tebal miliknya atau menonton
televisi, jika acara itu menarik perhatiannya. Berita, itulah yang tak
pernah luput dari pandangannya. Aku (dan dua saudaraku, juga bunda)
sampai bosan dengan hobinya yang satu ini. Sesekali, demi acara
favoritku (dan teman-teman), aku berantem berebutan remote control dengannya. Maafkan aku ayah.. Tapi aku bosan dengan berita yang selalu memberikan negative feeling. Aku juga tak mau jadi bahan tertawaan teman-teman se-gank karena ga nyambung saat diajak ngobrol. Seusiaku saat itu, remaja lebih memilih peer groupnya daripada orang tua.
![]() |
Masih
segar di ingatanku saat ayah memberikan dukungan padaku agar aku mau
menyelesaikan membaca puisi pada peringatan Isra’ Mi’raj di SD 064023
belasan tahun silam. Karena aku tiba-tiba menghentikan membaca puisi
karena aku malu ada ayah yang menontonku. Ayah juga yang mengajak aku
dan temanku untuk tampil membaca puisi di kantornya. Meskipun aku dan
temanku akhirnya tidak jadi tampil karena kesalahan seksi acara, tapi
aku tidak kecewa karena aku tahu ayah bangga padaku. Hey man,
ada berapa siswa SD yang (akan) tampil di kantor sebesar Balai Pelatihan
Kesehatan Medan? Tidak banyak, bahkan mungkin cuma aku (dan temanku itu
tentu saja). Bahkan ayah pernah memujiku di depan puluhan guru yang
menjadi peserta Workshop Quantum Learning di Indrapura, saat
ayah diundang menjadi pembicara dan aku sebagai asistennya. Tentu saja
saat itu aku sudah tidak berseragam merah putih lagi. Aku sudah
mengikuti jejak ayah berkuliah di kampus biru.
Ayah juga
memberiku uang saku yang lebih banyak dibanding kakak dan abangku. Ini
bukan pilih kasih, tapi karena aku bekerja untuknya. Tak usah
mengerutkan kening teman, aku memang membantu pekerjaan-pekerjaan
ayahku. Tidak terlalu memberatkan karena tugasku hanyalah mengetik. Tak
jauh berbeda dengan tugas-tugas kuliah yang biasanya aku kerjakan.
Waktuku justru lebih banyak terbuang ketika mengumpulkan energi dan
konsentrasi saat membaca tulisan tangannya yang tak ubahnya cakar ayam.
Ayahku adalah seorang apoteker yang harus bisa menulis cepat layaknya
seorang dokter. Pekerjaan dari ayah yang membuat dompet dan rekeningku
berlipat ganda adalah menyusun angka kredit. Kalau kau dibesarkan di
lingkungan Pegawai Negeri Sipil, kau pasti paham apa yang aku bicarakan.
Sebenarnya pekerjaanku hanya mengumpulkan surat mengajar, menghitung
jam mengajar, mengetik surat perintah dan teman-temannya. Yah, copy paste ditambah sedikit polesan editing.
Kalau kau orang yang teliti, sabar dan mau sedikit kerja keras serta
mampu bekerja dibawah tekanan, pasti dengan senang hati akan kau sambar
pekerjaanku ini.
Kecintaanku pada dunia pendidikan juga karna
ayah. Aku tak tahu apakah ayah sengaja mengarahkanku tuk mengikuti
jejaknya atau pribahasa yang mengatakan ‘buah jatuh tak jauh dari
pohonnya’ itu memang berlaku. Tapi sedari awal perkuliahan aku memang
banyak berkonsultasi dengannya, termasuk dalam pengambilan mata kuliah
pilihan. Ayah yang memiliki ijazah Sarjana Farmasi justru menjadi
widyaiswara yang sering mengajarkan dinamika kelompok dan pengembangan
kepribadian di setiap diklat. Ini takdir Tuhan atau ayah memang salah
jurusan, aku tak tahu. Ayah sering berbagi cerita tentang pahala
mengajar yang insya Allah tidak akan berhenti mengalir, walaupun kita sudah meninggal.
Kini,
disaat kelulusanku tinggal menghitung hari, aku dilema. Haruskah aku
kembali ke kampung halamanku, memenuhi impian ayah, atau menguji mental
di ibukota yang kabarnya lebih kejam dari ibu tiri, mengejar impianku?
Tuhan, bantu aku menjawab pertanyaan ini. Aku ingin membahagiakan
ayahanda dan ibunda tercinta, tetapi itu tidak harus selalu berada di
sisi mereka kan? Tuhan, sungguh aku tak ingin salah dalam memutuskan.
Aku menyadari seutuhnya bahwa hidup adalah pilihan, dan setiap pilihan
pasti ada konsekuensinya. Rabb, beri aku pertanda, pilihan mana yang terbaik menurutMu?
Ayah,
aku ingin membantumu mengembangkan Sekolah Alam Medan Raya. Tetapi
dengan ilmu yang kumiliki saat ini, sedikit sekali yang bisa aku
lakukan. Aku khawatir ternoda dengan budaya kerja masyarakat
Medan. Ayah, usiaku masih belia. Aku tak mampu memberikan pengaruh besar
di kota tempat aku dibesarkan. Izinkan aku untuk berguru pada yang
lebih tinggi. Ikhlaskan aku belajar di ESQ Leadership Center Jakarta.
Aku tetap akan membantu perjuangan sekolah percontohan itu. Aku akan
mengirimkan berita tentang sekolah unggul di tiap kota yang aku kunjungi
di setiap training kids. Aku akan mencari buku-buku untuk
anak-anak kaum dhuafa itu hingga berkeliling Indonesia, bahkan dunia.
Ayah, aku akan selalu berjuang bersamamu, semampuku, segenap jiwa
ragaku. Bersama alam semesta, bersama malaikat dan seluruh makhluk
ciptaanNya, bersama proton dan neutron yang tak pernah berhenti
bertasbih mengelilingi orbitnya. Ayah, percayalah aku akan pulang, tapi
tidak sekarang. Aku akan marsipature hutanabe, nanti saat ilmu
yang kumiliki dan kepribadianku telah matang. Ayah, bersabarlah..
Sungguh aku pun sangat merindukanmu seperti kerinduan yang kau simpan
untukku.
Tulisannya sangat bagus dan penuh inspirasi
ReplyDeleteTerima kasih..
Delete