Ketika jam berdetak dua belas kali, tanda hari
sudah berganti, tiba-tiba terdengar suara kunci berputar. Aku bergegas
mengintip ke pintu depan, khawatir ada tamu tak diundang. Ternyata Ayah. Baru
sampai rumah setelah perjalanan 5 jam dari desa Tiga Lingga.
Kejadian seperti ini bukan hanya sekali dua kali
terjadi. Sudah menjadi kebiasaan ayah melakukan perjalanan dakwah. Di usianya
yang sudah lebih 70 tahun, fisikmya masih kuat melakukan perjalanan darat
semalaman. Tak pernah memperlihatkan wajah letihnya. Bahkan tak jarang beliau
belum makan, namun lebih memilih langsung tidur karena terlalu lelah.
Bukannya kami tak pernah mengingatkan ayah, tapi
kalau kalian mengenal ayahku pasti sudah hafal bagaimana keras kepalanya,
sebelas dua belaslah sama anaknya. Hahaha
Izinkan ayah melakukan sesuatu di penghujung usia
ini. Agar saat malaikat nanti memanggil
nama ayah, wahai Ilyas Tarigan.. Apa yang sudah kamu lakukan untuk Tanah Karo?
Biar ayah bisa menjawab, “aku sudah berdakwah sampai bawah kaki Gunung Sinabung
dan mengajak Masyarakat Karo untuk kembali ke jalan-Mu ya Rabb”
Pandanganku mendadak kabur. Aliran sungai di pipi
tidak bisa berhenti mengalir. Dadaku menghangat. Lantas aku berpikir, apa yang
sudah aku lakukan di dunia ini? Kemana saja aku selama ini.
Ingatanku terbang beberapa tahun silam.
Saat ia memanggilku di sepertiga malam. Dengan
suara pelan, ayah memintaku mengambil air minum. Posisinya terbaring di sofa
ruang tamu. Saat aku membawakan air minum, ia tidak bisa bangkit, bahkan untuk
menegakkan kepala. Beliau memintaku mencari sedotan agar bisa minum. Panik, aku
tak menemukan dimana sedotan biasanya disimpan. Lalu kuambil sendok dan kusuapi
air ke mulutnya. Ia terlihat begitu menikmati setiap tetes demi tetes air yang
membasahi bibirmya. Seoalh-olah ada di gurun pasir dan ini adalah persediaan
air yang terakhir kali ia minum. Lalu ia meminta air zam-zam. Aku tercekat.
Inikah saatnya..
Bendungan dimataku jebol. Tapi tak menyurutkan
semangatku menyuapi air zam-zam ke mulut lelaki yang tak pernah berhenti
berzikir. Aku pikir air mulia itu akan menjadi air yang terakhir ia minum. Lalu
ia minta diambilkan gayung untuk berwudhu. Tak lupa mengingatkanku agar membawa
baskom untuk menampung bekas wudhunya. Airmata mengalir semakin deras, tetapi
aku tetap melaksanakan perintahnya. Rasanya ia seperti mengajarkanku bagaimana
cara berwudhu yang benar. Memintaku untuk memperbaiki wudhu-ku yang selama ini
hanya sekadar basah. Lalu setelah sempurna wudhunya, ia meminta aku membaca
ayat kursi.
Dengan terbata-bata kubaca.
Aku pikir itu adalah hari terakhir aku melihatnya.
Aku rasa ini adalah pertama dan terakhir kali aku mengambilkan wudhu untuknya.
Aku ingin menikmati hari-hari terakhirnya, hanya berdua denganku. Aku bahkan
tak ingin membangunkan bunda dan abang, karena mereka baru tidur enam puluh menit
yang lalu.
Setelah 4 tahun berlalu, ternyata aku masih bisa
memegang tangannya. Meski aku tidak pernah bermanja-manja lagi di pangkuannya,
seperti saat aku kecil dulu. Ya, mungkin sekarang saatnya aku yang memanjakannya.
Namun setiap kali aku ingin bersandar di bahunya, menghindar. Ah, ayah..
#PenggalanCeritaAyah
#Biografi Sang Pejuang
No comments:
Post a Comment